Menurut laporan hasil riset dari The Washington Post, kini lebih dari 1.000 perusahaan di Amerika Serikat mengaku mengadopsi teknologi kecerdasan artifisal untuk membantu bisnis mereka. Angka ini naik sangat drastis dibanding satu dekade lalu yang hanya berjumlah 36.
Eksekutif teknologi dan analis telah menyepakati AI sebagai revolusi teknologi besar berikutnya, menyamakannya dengan listrik atau internet. Hype ini bahkan mampu mempengaruhi para politisi, yang berusaha untuk menciptakan regulasi baru yang berfokus pada AI—dan jumlah uang venture capital yang mengalir ke perusahaan-perusahaan yang mengklaim memiliki teknologi AI semakin melonjak.
Beberapa waktu lalu, Nvidia melaporkan pendapatan yang lebih baik dari yang diharapkan berkat booming-nya AI, yang membuat sahamnya melonjak.
Beberapa waktu lalu, Nvidia melaporkan peningkatan pendapatan yang lebih besar dari ekspektasi awal, membuat sahamnya melonjak—semua berkat AI yang sedang booming.
Namun, fakta ini juga dibarengi berita negatif yang menjadi tanda melambatnya adopsi AI. ChatGPT, dilaporkan mengalami penurunan jumlah pengguna dalam beberapa bulan terakhir, memaksa para investor untuk mulai mewanti-wanti perusahaan-perusahaan di mana mereka mengucurkan dana besar.
Meski demikian, hal itu tidak menghentikan para eksekutif korporat di Amerika Serikat untuk terus terobsesi dengan teknologi ini. Ulta Beauty dalam laporan tahunannya mengatakan bahwa mereka menggunakan AI untuk menggerakkan “alat coba virtual dan alat analisis kulit.” Fidelity menyebut teknologi ini sebagai bagian dari perangkatnya untuk mendeteksi penipuan. Alaska Air menggunakannya untuk “memungkinkan lintasan penerbangan yang lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar”, dan banyak lainnya.
Algoritma AI dari perusahaan medis Hologic membantu praktisi medis mengidentifikasi lesi prakanker dan sel kanker serviks pada wanita. Yum China Holdings, yang memiliki KFC dan Pizza Hut, berencana menggunakan AI untuk menghubungkan pesanan online dengan toko fisiknya.
Menurut salah seorang profesor dari Harvard Business School, AI ibarat koper. “Kamu bisa memasukkan apa pun ke dalam koper dan membawanya ke mana-mana sambil berkata, ‘Oh, ini AI saya.'”
Tak sedikit perusahaan mulai menambahkan kata “AI” pada nama mereka. Pada tahun 2019, C3 IoT—singkatan dari istilah tren dari tahun sebelumnya, yaitu internet of things—mengubah mereknya menjadi C3 AI. Menurut perusahaan tersebut, perubahan nama ini dilakukan untuk lebih sesuai dengan persepsi pasar dan seiring dengan hadirnya serangkaian produk baru.
Sekitar satu dari tujuh perusahaan publik membicarakan tentang AI dalam laporan tahunan terbaru mereka. Tahun ini, pasar saham kian melonjak, dan sebagian besar didorong oleh perusahaan-perusahaan yang berada di pusat revolusi AI seperti Microsoft dan Nvidia.
AI telah menjelma menjadi kata yang superpopuler sehingga beberapa perusahaan mulai menggunakannya untuk menunjukkan bahwa mereka terdepan. “Mengubah merek dari hal-hal yang sudah mereka lakukan sebagai AI,” kata Mark Riedl, seorang profesor yang fokus pada kecerdasan buatan di Georgia Tech. Menurutnya, hampir semua hal yang melibatkan data dapat dianggap sebagai AI. “Dan kamu mungkin hanya akan mendapatkan sedikit dorongan tambahan untuk apa pun yang ingin kamu capai,” tutupnya.
Meski masifnya perkembangan AI sangat identik dengan ChatGPT selaku pelopor, pada dasarnya teknologi AI jauh melampaui itu. Kcerdasan artifisial sejatinya dapat menggambarkan berbagai teknologi, termasuk menggunakan data untuk melihat pola dan membuat prediksi. Inilah jenis AI yang paling banyak digunakan oleh perusahaan saat ini.